JIKA KAMU BERBUAT BAIK (BERARTI) KAMU BERBUAT BAIK BAGI DIRIMU SENDIRI, DAN JIKA KAMU BERBUAT JAHAT MAKA (KEJAHATAN) ITU BAGI DIRIMU SENDIRI (QS. AL ISRA' AYAT 7)

Minggu, 19 Juli 2009

SEJAUH MANA KESIAPAN WARGA MENGHADAPI BENCANA


Ketika korban-korban pengeboman di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton dikeluarkan dari nereka di kedua hotel tersebut, mereka dalam keadan luka-luka dan (lihat Presdir Holcim Timothy Mckay) merintih kesakitan. Mereka memasuki neraka baru yaitu mereka diterlantarkan di halaman hotel.
Ini salah siapa? mengapa ini sampai terjadi di negeri yang sangat peduli terhadap kemanusian.


Ketika terjadi bencana bukankah waktu (detik-detik pertama), dan apa yang kita lakukan (bagaimana kita memberikan pertolongan) dalam pertolongan pertama itu akan menentukan bagaimana nasib dari korban tersebut. Waktu dan tindakan awal dalam melakukan pertolongan selalu menjadi prioritas utama untuk keselamatan sang korban.



Kita melihat dalam kejadian kemarin di kedua hotel tersebut, kita saksikan kita demikian terpaku dengan kejadian, kita berbondong-bondong hanya untuk melihat (dalam keadaan sesungguhnya kita bukan hanya terpaku tetapi sesungguhnya kita adalah penghambat pertolongan pertama). Kita hanya simpati dengan kejadian tersebut, tapi kita tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kejadian tersebut.
Sesungguhnya kita dapat melakukan pertolongan pertama dengan tepat dan cepat, jika saja kita memiliki keterampilan dalam menghadapi bencana. Keterampilan menghadapi bencana di tanah air ini, belumlah menjadi suatu kebutuhan! Sesungguhnya kita ini sangat akrab dengan bencana!


Entah kapan kita menjadi orang-orang yang siap menghadapi bencana? Ataukah kita mengharapkan bantuan dari luar untuk menghadapi bencana yang ada? Ataukah kita mengharapkan banyaknya korban, sehingga akan banyak bantuan.
Sungguh-sungguh terlalu kalau kita berfikiran bencana adalah proyek.
Seluruh warga negara Indonesia harus dibekali dengan keterampilan yang standar dalam menghadapi bencana-bencana. Bukankah bangsa ini, alamnya sangat memungkinkan untuk terjadinya bencana; tsunami, gunung meletus, longsor, sungai yang meluap, jalan raya, angkutan laut, angkutan udara dan sebagainya. Bahkan di rumah tangga musibah atau bencana ini sangatlah akrab dengan kita.


Kita tidak dapat menunggu pertolongan pertama dari pihak-pihak yang terkait. Kita harus siap memberikan pertolongan yang cepat dan tepat. Kita tidak dapat melihat kejadian seperti kemarin, dimana korban pengeboman menunggu dan menunggu, sehingga pertolongan menjadi terlambat. Pengalaman ini sudah sangat pahit untuk diterima, karena kita tidak siap memberikan pertolongan.

Selasa, 07 Juli 2009

GURU HARUS "DIPAKSA"

Tuntutan zaman mengharuskan seorang guru harus “DIPAKSA” berbenah diri dan berlomba dengan untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya untuk siswanya sehingga siswa akan berlomba juga dalam memacu dirinya untuk mendapatkan pengetahuan yang maksimal seperti gurunya yang telah memberikan pelayanan padanya.
Seorang ibu guru MUSLIMAH dalam Laskar Pelangi mampu memberikan inovasi dan mimpi-mimpi yang indah bagi setiap siswanya. Siswanya dapat bermimpi dan meraih mimpinya dengan kenyataan. Sungguh sangat luar biasa apa yang dilakukan oleh seorang ibu guru muda (kala itu) ini.
Tetapi bagaimana inovasi-ino­vasi yang dilakukannya dalam proses pembelajaran. Ini berbeda dengan pandangan kebanyakan orang, bahwa guru gajinya ren­dah dan sulit jadi orang kaya. Bahkan tidak sedikit profesi guru yang jadi bahan tertawaan, se­perti di sinetron-sinetron.
Ibu Muslimah dalam Laskar Pelangi layak untuk dimasukkan dalam daftar nominasi guru yang bersertifikasi. Karena Ibu Mus­limah telah melaksanakan ino­vasi dalam pembelajaran sekali­pun dengan keterbatasan sarana dan prasarana yang tersedia. Jadi mulai sekarang guru jangan dia­nalogkan lagi dengan si “Umar Bakri” karena sebutan ini tidak cocok untuk sebutan guru yang mengemban tugas mulia. Lihat­lah prestasi mereka, cara menga­jar mereka, cara mendidik dan membimbing para siswa, jangan semata-mata hanya dilihat dari “bututnya”.
Ini artinya bahwa sertifikasi itu orientasinya jangan sekedar ma­teri/gaji tetapi prestasi. Mengapa demikian? Jika seseorang itu ber­prestasi secara tidak langsung materi akan mengikutinya. Jadi kalau bicara sertifikasi jangan bicara dulu tentang uang, tetapi sejauh mana kita sudah bekerja dengan sungguh-sungguh. Kena­pa para penulis yang peduli pen­didikan di Indonesia ini tidak mengangkat tokoh-tokoh riil pendidikan kita seperti Ki Hajar Dewantara, R.A Kartini, Ibu Mus­limah dsb.Kalau mau memberi argumen mengenai sertifikasi dan guru pakai dong figur/tokoh yang riil. Angkatlah mereka, tulislah mere­ka yang punya segudang prestasi dan pengalaman, supaya orang tahu bagaimanakah sosok guru yang sejati.Renungkanlah, apa sebabnya Jepang bisa tumbuh menjadi sa­lah satu negeri terkemuka di dunia? Ketika saat itu Hiroshima dan Na­gasaki dijatuhi bom oleh seku­tu pada 1945, sampai luluh lan­tak, Kaisar Hirohito bertanya, “Ma­sih ada berapa guru yang hi­dup?” Kaisar Jepang ini jelas me­miliki kesadaran yang tinggi bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Buktinya Human Development Index Jepang pada tahun 2008 berada di pering­kat 8 dunia.
Melihat wajah pendidikan na­sional di Indonesia, tampaknya kita harus banyak belajar dari ke­gigihan Jepang dalam memper­ju­angkan pendidikan dan meng­hargai sosok guru. Oleh karena itu untuk memperbaiki image guru dan guru menjadi idola angkatlah prestasinya, inovasinya, dan profesionalismenya.
Sehubungan dengan hal di atas, sertifikasi bukan semata-mata merupakan bentuk penghor­matan dan penghargaan kepada guru, tetapi memang betul-betul bagi guru yang berprestasi. Ama­ti dan teliti berkas-berkas porto­folionya, mereka punya segudang pengalaman dan prestasi yang dirintis sekian puluh tahun sehingga mereka memang layak untuk bersertifikasi. Kalau ada beberapa yang melakukan ma­nipulasi toh akhirnya akan ke­tahuan juga.
Supaya guru tidak di-Umar Bakri-kan yang sial dan menjadi kambing hitam atas keterpurukan bangsa ini maka guru harus me­ngubah mind-set. Jangan ha­nya minta gaji bagus, tapi tak mau me­ningkatkan diri. Jangan kita ber­laku curang, tidak adil, menjadik­an negara dan sekolah sebagai tunggangan. Kita mentolerir ke­malasan, tidak mau membaca, ti­dak memperluas horizon, membe­ri­kan anak-anak ala kadarnya.Kunci kualitas itu pada guru. Bukan hanya sertifikasi yang si­fat­nya administratif, tetapi subs­tansi mutu guru. Jika dikaji lebih jauh, profesionalisme selalu me­nyangkut 3 hal, yaitu: etik, skill, dan renumerasi yang baik. Kalau guru segitu-gitu saja, dan tidak mampu memperbaiki diri, INI DOSA BESAR. Guru yang berpanda­ngan luas, banyak membaca, bi­jaksana, akan mampu memotivasi anak dan melahirkan anak-anak hebat di masa depan.
Banyak hal yang perlu dibangkitkan bagi siswa!. Sebelum masuk kelas dan meng­ajar, guru harus sudah baca koran. Pikirannya terbuka, perspektif luas. Menyampaikan bahwa kita ini bagian dari dunia yang luas. Bicara mengenai problematika perubahan iklim, krisis ekonomi, kemiskinan, kepadatan penduduk, teknologi, akan terjadi dan apa akibatnya bagi bumi ini.Coba lihat, sawah-sawah telah be­rubah jadi perumahan, gedung-ge­dung megah bersambungan dengan rumah-rumah kumuh, kebut-kebu­tan di jalan umum, tidak ada sopan-santun, inikah bangsa kita, inikah peradaban kita?
Guru-guru idealis dan profe­si­onal, jumlahnya harus diper­ba­nyak. Pendidikan kita sudah pada jalur yang tepat, tapi perlu ak­selerasi dalam peningkatan dan pemerataan kualitas dan inter­nasionalisasi. Profesionalisme tidak hanya sekedar untuk profesionalisme saja, atau agar kua­litas pengajaran semakin bagus. Profesionalisme juga untuk mem­bangun citra, persepsi, juga gengsi.
Sementara itu, sekarang ini pro­fesi guru masih kurang diminati, jauh dibanding profesi akuntan, ahli teknik, atau dokter. Padahal sejarah telah membuktikan, bang­sa yang hebat saat ini karena pen­didikannya baik, dan didukung oleh guru-guru dengan profesi­onalisme tinggi, kesadaran, etos kerja, dan idealisme untuk me­ngembangkan diri.

SEKOLAH STANDAR NASIONAL KEKURANGAN SISWA

Ini adalah sebuah tragedi, ketika Pemerintah menetapkan sebuah sekolah menjadi sekolah rintisan standar nasional ditinggalkan masyarakat. Bukankah SSN menjadi impian setiap (calon siswa)/siswa untuk duduk dan menimba ilmu di sekolah tersebut. Sekolah Standar Nasional adalah sebuah impian bagi siswa karena sekolah tersebut telah memenuhi kriteria yang cukup bahkan sangat sulit untuk didapat dari sekolah-sekolah di negeri ini. Sekolah standar nasional telah memiliki perangkat/sarana pembelajaran yang telah memadai.
Ketika musim pendaftaran siswa baru, maka sekolah-sekolah favorit tentunya termasuk sekolah sekolah yang telah mendapatkan predikat SNN akan diserbu oleh calon siswa. Ketika penutupan pendaftaran maka akan terlihat banyak siswa-siswa yang harus ditolak, tentunya disebabkan oleh kapasitas yang tersedia (bangku) di sekolah tersebut terbatas. Siswa-siswa (calon) yang ditolak tersebut akan mencari sekolah-sekolah lain di bawah sekolah tersebut untuk dimasukinya.
Apa yang akan dikatakan dunia ketika sekolah favorit tersebut (termasuk sekolah standar nasional) tersebut pada waktu penutupan masa pendaftaran siswa baru ternyata siswanya masih di bawah kapasitas yang diinginkan sekolah tersebut. Sekolah tersebut terpaksa memperpanjang masa pendaftaran, hanya untuk memenuhi target siswa masuk sekolah tersebut. Ada pertanyaan besar terhadap sekolah tersebut? Ada apa? Mengapa siswa sampai tak berburu ke sekolah tersebut?
Adakah yang salah di sekolah tersebut? Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk mendapatkan jawabannya. Kalau saja kita tak jujur melihat hal tersebut. Siapa yang harus dipersalahkan gurunyakah; kepala sekolah atau pemerintah yang terlalu gegabah meningkatkan predikat sekolah tersebut.
Guru-guru di sekolah tersebut yang tak menerima peningkatan predikat sekolahnya (menganggap kenaikan predikat menjadi beban). Sehingga membuat guru-guru menjadi stres? Atau tidak siap untuk memacu dirinya mengikuti tuntutan dari kenaikan predikat tersebut. Atau ada rasa apatis yang sangat dalam terhadap keadaan sekolah tersebut.
Ataukah karena kepala sekolah, yang terlalu cepat berlari sehingga guru-gurunya tertinggal jauh. Ketertinggalan inilah yang menyebabkan guru-guru merasa stres. Ataukah ada yang lainnya?
Mungkin juga, pemerintah terlalu tergesa-gesa memaksakan sebuah sekolah mendapatkan predikat standar nasional. Suatu sekolah sesungguhnya belum siap untuk menjadi SSN, karena sarana yang harus disiapkan menajdi beban bagi guru, kepala sekolah dan seluruh personil yang ada di sekolah tersebut.
Atau mungkin juga, karena kita terlalu menikmati keadaan selama ini yang tidak memiliki tantangan atau beban yang harus diterima.
Mari kita jawab sebuah pertanyaan sederhana ini: Mengapa Sekolah Standar Nasional masih kekurangan siswa?