Tuntutan zaman mengharuskan seorang guru harus “DIPAKSA” berbenah diri dan berlomba dengan untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya untuk siswanya sehingga siswa akan berlomba juga dalam memacu dirinya untuk mendapatkan pengetahuan yang maksimal seperti gurunya yang telah memberikan pelayanan padanya.
Seorang ibu guru MUSLIMAH dalam Laskar Pelangi mampu memberikan inovasi dan mimpi-mimpi yang indah bagi setiap siswanya. Siswanya dapat bermimpi dan meraih mimpinya dengan kenyataan. Sungguh sangat luar biasa apa yang dilakukan oleh seorang ibu guru muda (kala itu) ini.
Tetapi bagaimana inovasi-inovasi yang dilakukannya dalam proses pembelajaran. Ini berbeda dengan pandangan kebanyakan orang, bahwa guru gajinya rendah dan sulit jadi orang kaya. Bahkan tidak sedikit profesi guru yang jadi bahan tertawaan, seperti di sinetron-sinetron.
Ibu Muslimah dalam Laskar Pelangi layak untuk dimasukkan dalam daftar nominasi guru yang bersertifikasi. Karena Ibu Muslimah telah melaksanakan inovasi dalam pembelajaran sekalipun dengan keterbatasan sarana dan prasarana yang tersedia. Jadi mulai sekarang guru jangan dianalogkan lagi dengan si “Umar Bakri” karena sebutan ini tidak cocok untuk sebutan guru yang mengemban tugas mulia. Lihatlah prestasi mereka, cara mengajar mereka, cara mendidik dan membimbing para siswa, jangan semata-mata hanya dilihat dari “bututnya”.
Ini artinya bahwa sertifikasi itu orientasinya jangan sekedar materi/gaji tetapi prestasi. Mengapa demikian? Jika seseorang itu berprestasi secara tidak langsung materi akan mengikutinya. Jadi kalau bicara sertifikasi jangan bicara dulu tentang uang, tetapi sejauh mana kita sudah bekerja dengan sungguh-sungguh. Kenapa para penulis yang peduli pendidikan di Indonesia ini tidak mengangkat tokoh-tokoh riil pendidikan kita seperti Ki Hajar Dewantara, R.A Kartini, Ibu Muslimah dsb.Kalau mau memberi argumen mengenai sertifikasi dan guru pakai dong figur/tokoh yang riil. Angkatlah mereka, tulislah mereka yang punya segudang prestasi dan pengalaman, supaya orang tahu bagaimanakah sosok guru yang sejati.Renungkanlah, apa sebabnya Jepang bisa tumbuh menjadi salah satu negeri terkemuka di dunia? Ketika saat itu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom oleh sekutu pada 1945, sampai luluh lantak, Kaisar Hirohito bertanya, “Masih ada berapa guru yang hidup?” Kaisar Jepang ini jelas memiliki kesadaran yang tinggi bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Buktinya Human Development Index Jepang pada tahun 2008 berada di peringkat 8 dunia.
Melihat wajah pendidikan nasional di Indonesia, tampaknya kita harus banyak belajar dari kegigihan Jepang dalam memperjuangkan pendidikan dan menghargai sosok guru. Oleh karena itu untuk memperbaiki image guru dan guru menjadi idola angkatlah prestasinya, inovasinya, dan profesionalismenya.
Sehubungan dengan hal di atas, sertifikasi bukan semata-mata merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan kepada guru, tetapi memang betul-betul bagi guru yang berprestasi. Amati dan teliti berkas-berkas portofolionya, mereka punya segudang pengalaman dan prestasi yang dirintis sekian puluh tahun sehingga mereka memang layak untuk bersertifikasi. Kalau ada beberapa yang melakukan manipulasi toh akhirnya akan ketahuan juga.
Supaya guru tidak di-Umar Bakri-kan yang sial dan menjadi kambing hitam atas keterpurukan bangsa ini maka guru harus mengubah mind-set. Jangan hanya minta gaji bagus, tapi tak mau meningkatkan diri. Jangan kita berlaku curang, tidak adil, menjadikan negara dan sekolah sebagai tunggangan. Kita mentolerir kemalasan, tidak mau membaca, tidak memperluas horizon, memberikan anak-anak ala kadarnya.Kunci kualitas itu pada guru. Bukan hanya sertifikasi yang sifatnya administratif, tetapi substansi mutu guru. Jika dikaji lebih jauh, profesionalisme selalu menyangkut 3 hal, yaitu: etik, skill, dan renumerasi yang baik. Kalau guru segitu-gitu saja, dan tidak mampu memperbaiki diri, INI DOSA BESAR. Guru yang berpandangan luas, banyak membaca, bijaksana, akan mampu memotivasi anak dan melahirkan anak-anak hebat di masa depan.
Banyak hal yang perlu dibangkitkan bagi siswa!. Sebelum masuk kelas dan mengajar, guru harus sudah baca koran. Pikirannya terbuka, perspektif luas. Menyampaikan bahwa kita ini bagian dari dunia yang luas. Bicara mengenai problematika perubahan iklim, krisis ekonomi, kemiskinan, kepadatan penduduk, teknologi, akan terjadi dan apa akibatnya bagi bumi ini.Coba lihat, sawah-sawah telah berubah jadi perumahan, gedung-gedung megah bersambungan dengan rumah-rumah kumuh, kebut-kebutan di jalan umum, tidak ada sopan-santun, inikah bangsa kita, inikah peradaban kita?
Guru-guru idealis dan profesional, jumlahnya harus diperbanyak. Pendidikan kita sudah pada jalur yang tepat, tapi perlu akselerasi dalam peningkatan dan pemerataan kualitas dan internasionalisasi. Profesionalisme tidak hanya sekedar untuk profesionalisme saja, atau agar kualitas pengajaran semakin bagus. Profesionalisme juga untuk membangun citra, persepsi, juga gengsi.
Sementara itu, sekarang ini profesi guru masih kurang diminati, jauh dibanding profesi akuntan, ahli teknik, atau dokter. Padahal sejarah telah membuktikan, bangsa yang hebat saat ini karena pendidikannya baik, dan didukung oleh guru-guru dengan profesionalisme tinggi, kesadaran, etos kerja, dan idealisme untuk mengembangkan diri.
Selasa, 07 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar